Penghayat Kepercayaan: Menghadapi Stigma Negatif Dan Ketidakpastian Undang-undang

Penghayat Kepercayaan: Menghadapi Stigma Negatif Dan Ketidakpastian Undang-undang

Agu 25, 2023 by Worgird

Penghayat kepercayaan dalam artian luas didefinisikan sebagai masyarakat yang menganut agama tradisional di luar enam agama yang diakui oleh negara. Menurut data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terdapat 102.508 penduduk Indonesia yang termasuk kategori penghayat kepercayaan.

Eksistensi penghayat kepercayaan acap kali kali diamati sebelah mata. Hal itu terefleksi dari banyaknya masyarakat yang menyimpan stigma negatif dan kurangnya perhatian dari Pemerintah, kendati telah diakui secara konstitusi.

Pada Sabtu (11/03), kanal YouTube SETARA men-upload video pembicaraan dengan judul “Dinamika Penerimaan Penghayat dan Tantangan Diskriminasi Penghayat”. Berdurasi 30 menit 10 detik, pembicaraan hal yang demikian ikut menghadirkan dua narasumber adalah, Engkus Ruswana selaku Ketua Presidium 1 MLKI Sentra dan Bonar Tigor yang menjabat slot kakek tua sebagai Wakil Ketua SETARA Institution.

Menghadapi Stigma dari Masyarakat

Dalam perjalanannya, kategori Penghayat Kepercayaan sudah via dinamika yang naik-turun. Eksistensi para penghayat telah dan masih ada sampai saat ini walaupun eksistensinya sekali-sekali naik sekali-sekali turun.

“Agama-agama leluhur atau agama lokal yang eksistensinya sesungguhnya jauh sebelum Hindu-Budha masuk, leluhur kita telah memiliki metode keyakinan sehingga kita dapat saksikan di hampir semua etnis yang ada di nusantara mempunyai agama leluhur. Kemudian sebab progres Hindu masuk, Budha masuk, Islam masuk, Kristen masuk, terjadi perjumpaan-perjumpaan yang di suatu saat agama yang masuk itu mendominasi dan menggeser agama-agama leluhur,” terang Engkus Ruswana.

Pasca berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam membentuk konstitusi timbul upaya dari negara untuk melindungi agama leluhur. Dari usaha hal yang demikian, muncullah istilah “Penghayat Kepercayaan”. Kendati demikian, mulai dari tahun 1950-an, kategori penghayat mengalami pasang surut berhubungan keberadaannya.

Engkus Ruswana menyebutkan bagaimana momen pemberontakan DI/TII menjadi permulaan penekanan yang dialami oleh kategori penghayat kepercayaan. Karena itu, pemberontakan DI/TII yang berkonsentrasi di Jawa Barat banyak menargetkan penghayat dan melakukan tekanan sampai teror terhadap mereka.

“Gerakan DI/TII itu benar-benar menekan pada masyarakat-masyarakat penganut ajaran leluhur. Hasilnya dikafirkan hasilnya ditekan banyak yang dibunuh, di kejar kejar.”

Imbas, tidak sedikit dari para Penghayat yang merasa takut untuk mengaku dan mengerjakan ajaran leluhur. Ada yang memilih untuk melarikan diri dari kampung dan mencari perlindungan di kota. Ada pula yang hasilnya memilih untuk memeluk agama.

“ Di tempat Ciparai ada yang dibunuh satu klasifikasi sosial yang lagi berlatih kesenian dibakar hidup-hidup. Nah, alhasil kan pada takut untuk menjalakan ritual – ritual ajaran leluhur, hasilnya mengaku agama namun dibalik itu ada beberapa yang masih konsisten bertahan keyakinannya,” Engkus menambahkan.

Kemalangan bagi para penghayat kembali berlanjut malahan diperparah sesudah momen Gerakan 30 September (G30S). Stigma negatif kepada kategori Penghayat kian menjadi sebab Penghayat dianggap sebagai komunis karena tidak memeluk agama.

“Pasca G30S PKI, dianggap ini tak menganut agama ya dikomuniskan.” jelas Engkus.

Engkus kembali menambahkan, jauh sesudah momen G30S, menjelang 2000-an dikala para Penghayat mempunyai KTP dengan pertanda setrip (-) di baris agama. Mereka acap kali kali mendapatkan stigma negatif dari masyarakat.

“Keberadaan dari adanya identitas yang di setrip itu orang menjadi konotasi negatif ada yang menganggap wah ini agamanya strip berarti ini komunis, sehingga demikian itu misalnya kita bertamu ke tempat lain terus diperhatikan dan daftar misalnya sebagai tetamu, kosong KTP nah alhasil jadi banyak stigma gitu yang timbul.”

Tarik-Ulur Kebijakan Pemerintah

Eksistensi kategori Penghayat Kepercayaan di Indonesia memunculkan kontroversi di mana pemerintah sebagian kali menentukan sebuah kebijakan berhubungan Penghayat dan kemudian mencabut kebijakan itu. Tarik-ulur kebijakan ini diawali semenjak ditentukannya Pasal 29 yang menceritakan “kepercayaan” di dalamnya.

“Pada tahun 1973 mulai ada Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pertama kali dibentuk dan dimasukkan kepercayaan kepada Maha YME itu sebagai klasifikasi sosial metode keyakinan yang banyak penganutnya dan sejalan dengan agama sehingga di GBHN 73 itu ditaruh dalam bidang yang sama, bidang agama dan kepercayaan kepada Maha YME,” kata Engkus.

Hasilnya berlangsung lama, Engkus menambahkan bahwa pada tahun 1978 timbul gugatan-gugatan kepada suara Pasal 29 yang dianggap bahwa Penghayat Kepercayaan tidak patut disetarakan dengan agama.

“Tahun 1978 timbul gugatan-gugatan bahwa kepercayaan bukan agama jadi masyarakat tak boleh kehilangan agama, harus memeluk agama. Tuhan ada pemakasanan, penggiringan, Menteri Agama sendiri mengarahakna agar para penganut kepercayaan untuk kembali ke induk agamanya,“

“Ketua organisasi kepercayaan nasional, yang memang ditaruh oleh Pak Harto, Bapak Sahid Husein menyatakan penganut kepercayaan kepada Maha YME tak kehilangam agama yang dianutnya sehingga makin menguatkan Kementerian Agama untuk menggiring ini sehingga disitu terjadi ketidakpastian undang-undang.”

Setelahnya, terbit GBHN yang menceritakan Penghayat Kepercayaan berada di bawah naungan Kementerian Tuhan dan Kebudayaan (Kemendikbud), bukan lagi di bawah naungan Kementerian Agama.

“Dari 78 itu timbul dikeluarkan GBHN baru jangka waktu 1978-1983 itu dipisah yang tadinya masuk bidang agama slot garansi 100 kepercayaan nah kepercayaan ini istilahnya tetep sama kepercayaan kepada Maha YME namun ia masuk ke kebudayaan,”

“Jadi jika agama-agama dikelola oleh Kementerian Agama, jika kepercayaan dikelola oleh Kemendikbud,” sebut Engkus berhubungan perubahan kebijakan.

Pada tahun 1990, penghayat kembali menemui kendala dikala negara melarang adanya pernikahan tanpa via agama. , pada tahun 2005 timbul RUU Administrasi Kependudukan yang hasilnya di tahun 2006 negara memperbolehkan adanya perkawinan tanpa via agama. terus berlanjut sampai pada tahun 2017 terbitlah Putusan MK yang memenuhi tuntutan-tuntutan dari Penghayat pada tahun 2016 berhubungan ketidakadilan yang diterima.

“ di 2017, kita masukkannya kan di 2016 PNPS ya jadi keluarlah itu perkara No. 97/PUU X IV Tahun 2016 nah itu gugatan ini sukses semuanya tanpa ada yang dikecualkan,” terang Engkus.

Putusan MK tahun 2017 ini memberikan imbas positif bagi Penghayat. Engkus menyebutkan bahwa Penghayat menjadi dimudahkan untuk mengurus progres administrasi.

“Negara mulai memberikan layanan secara lebih merasa punya dasar undang-undang, mempercepat juga progres layanan pengajaran, mempercepat juga progres layanan-layanan lainnya,” ungkap Engkus.

sekarang, Penghayat Kepercayaan masih terus memperjuangkan hak-hak mereka. Putusan MK tahun 2017 telah memberi kemudahan dalam progres administrasi, melainkan masih ada sebagian instansi yang belum mengakui Penghayat. Sebagai figur, Penghayat Kepercayaan masih kesusahan untuk slot bet kecil mendaftar Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan sebagian instansi kementerian.

“Harusnya jika Menteri Dalam Negeri udah mengakui kan telah memberikan ruang bahwa identitas di KTP, identitas di KK itu disediakan untuk para Penghayat Kepercayaan. kementerian lain tak mencontoh? Kan dasarnya harusnya Adminduk, makanya aneh kok di tentara gak dapat,”

“ keadaan sulit, jadi masih ada yang mesti diperjuangkan lagi aku kaprah.” ujar Engkus.

By Worgird

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *